KATOE.ID – Isu PETI menjadi permasalahan serius saat ini bagi pemerintah karena sangat berdampak terhadap lingkungan yang ditimbulkannya.
PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
“PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sunindyo Suryo Herdadi di Jakarta, Selasa (12/7/2022) lalu.
PETI juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap Negara maupun terhadap masyarakat sekitar. “Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” ujar Sunindyo.
Kementerian ESDM mencatat, saat ini terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi PETI batubara sekitar 96 lokasi dan PETI Mineral sekitar 2.645 lokasi berdasarkan data tahun 2021 (triwulan-3). Salah satu lokasi PETI yang terbanyak di provinsi Sumatera Selatan.
Sementara itu, di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi sendiri ada 3.920 hektar lahan rusak akibat aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di 189 titik tersebut yang tersebar di 12 kecamatan dalam Kabupaten Merangin.
Hal tersebut terungkap pada rapat pengendalian dan penanggulangan kerusakan lingkungan akibat maraknya aktivitas PETI dan pertambangan ilegal lainnya yang dipimpin Bupati Merangin Mashuri, di Aula Utama Kantor Bupati Merangin, Kamis (14/07/22).
Mashuri menyampaikan, lahan yang rusak tersebut berada di Kecamatan Margo Tabir sebanyak 127 hektar, Pamenang Selatan 238 hektar, Lembah Masurai 30 hektar, Tabir Selatan 169 hektar, Nalotantan 110 hektar, Muara Siau 1.640 hektar dan Renah Pamenang 73 hektar.
” Selain itu di Kecamatan Tabir Timur 41 hektar, Pangkalan Jambu 800 hektar,Tabir 23 hektar, Sungai Manau 245 hektar dan di Kecamatan Bangko 424 hektar,” sebutnya.
Meski mengaku prihatin, Mashuri dalam rapat tersebut tetap mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di 12 lokasi di Sembilan kecamatan wilayah tersebut.
Adapun Sembilan kecamatan yang diusulkan Mashuri menjadi lkaksi iyalah WPR iyalah, Desa Batang Kibul, Bukit Perentak, Ngaol, P Taman, Rantau Ngarai, Sekancing, Sungai Pinang, Rantau Bidaro dan Rantau Panjang Siau. “Jika usulan WTR itu dikabulkan, izinnya akan dikelola koperasi atau perusahaan,” pungkasnya.
Diketahui, WTR atau WPR merupakan salah satu usulan pemerintah daerah dalam upaya menghadapi PETI.
Selain upaya tersebut Pemerintah Pusat melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, terus bekerja sama untuk mengatasi PETI dengan melakukan inventarisasi lokasi PETI, penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga upaya penegakan hukum.
Sementara itu, Kajari Merangin RR Theresia Tri Widorini mengatakan, untuk memberantas PETI, terus dikalukan kerja sama antara Pemkab Merangin dengan desa-desa, yang warganya terindikasi melakukan aktivitas PETI. Namun, terkait lahan yang telah rusak, ia hanya meminta ada reklamasi.
‘’Reklamasi sangat kita butuhkan, untuk memulihkan kondisi lahan. Kedepannya sebagai masukan, pemilik modal aksi PETI yang perlu ditindak tegas, karena selama ini yang ditindak itu hanya pekerjanya saja,’’ ujar Kajari. (**/alra)