Merujuk laporan Bank Dunia, biaya kerusakan kesehatan akibat polusi udara partikel halus (PM2.5) setara dengan 9,3% dari PDB Asia Timur Pasifik serta 10,3% dari PDB Asia Selatan di 2019. Selain itu, polutan udara berkontribusi terhadap perubahan iklim.
KATOE.ID – Pada 30 Mei 2022, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Science 20 (S20), bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) dan Clean Air Asia, menggelar S20 High Level Policy Webinar bertema Applying Science and Technology to Achieve Clean Air and Climate Co-Benefits.
Kegiatan dimaksudkan untuk berbagi pengetahuan di antara tiap negara, terkait peningkatan kualitas udara dan penurunan emisi karbon. Selain itu, juga upaya untuk memperkuat data diperlukan agar kebijakan dibuat secara komprehensif, mencakup mekanisme, peluang kolaborasi, hingga investasi pada teknologi bersih.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang juga Ketua Science20 (S20), salah satu kelompok keterlibatan di G20, berharap bahwa forum G20 dapat meningkatkan peran dan kontribusi ilmu pengetahuan serta teknologi dalam mengatasi perubahan iklim dan menciptakan udara bersih atau bebas emisi/polusi.
“G20 perlu memperkuat kerja sama untuk mengatasi kualitas udara bersih, perubahan iklim, serta meningkatkan kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan kualitas kehidupan,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam webinar tersebut.
Ia mengatakan, G20 harus mendorong kemampuan negara menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberikan bukti ilmiah untuk membuat keputusan dalam kondisi ketidakpastian. Di mana, penilaian kuantitatif saja tidak akan cukup memandu pembuatan kebijakan nasional.
Kebijakan nasional dan langkah strategis tersebut utamanya ditujukan untuk menciptakan udara bersih. Selain juga, mengendalikan perubahan iklim demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik.
Menurut Satryo Brodjonegoro, polusi udara dapat merusak banyak aspek. Seperti, lingkungan, keanekaragaman hayati, manusia, hingga ekonomi akibat tingginya biaya kesehatan lantaran efek negatif dari partikel halus.
Merujuk laporan Bank Dunia yang dirilis pada 2022, biaya kerusakan kesehatan akibat polusi udara partikel halus (PM2.5) setara dengan 9,3% dari PDB Asia Timur Pasifik serta 10,3% dari PDB Asia Selatan di 2019. Selain itu, polutan udara berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Ozon troposfer menyebabkan pemanasan iklim. Sedangkan, komponen partikulat (PM) memiliki efek pendinginan atau pemanasan iklim. “Ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi tantangan yang menentukan dalam kehidupan kita. Divergensi ketiga hal tersebut memerlukan upaya peningkatan dan penyebaran klimatologi di berbagai sektor utama seperti pembangkit listrik, transportasi, serta industri,” kata Satryo.
Partikel halus PM2,5, yang berasal dari pembakaran bahan bahan bakar fosil, sangat berbahaya bagi kesehatan. Sebab, kemampuannya yang tinggi untuk menembus saluran pernapasan.
Satryo menyebut, webinar ini bertujuan untuk mendorong berbagi pengetahuan selatan-selatan di antara negara-negara Asia, pada peningkatan kualitas udara dan penurunan emisi karbon. “Saya harap Anda semua memiliki diskusi yang produktif dan bermanfaat untuk memperkaya Komunike Science20 untuk kepentingan komitmen G20, dan untuk perbaikan masa depan ‘satu-satunya planet kita’,” katanya.
Peran Data yang Kuat
Seminar virtual itu juga menyoroti peran data yang kuat untuk mengembangkan kebijakan udara bersih dan rendah karbon secara komprehensif, membahas kemajuan terkini dalam teknologi bersih di Asia, dan mekanisme untuk mempercepat peningkatan teknologi bersih.
Selain itu, melalui penyelenggaraan webinar itu, dibahas juga peluang kolaborasi, antara sektor publik dan swasta dalam meningkatkan investasi teknologi bersih.
S20, sebagai salah satu kelompok keterlibatan dalam G20, menekankan isu-isu prioritas dengan memperjuangkan kebutuhan masyarakat internasional berupa rencana-rencana aksi nyata dalam kerangka ikut menopang pencapaian tiga pilar utama G20 yang diusung Indonesia dalam Keketuaan G20 pada 2022.
Ketiga pilar utama tersebut adalah arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi berkelanjutan, untuk mendorong dan menyukseskan tema besar yang diusung dalam tagline “Recover Together, Recover Stronger”.
Kelompok keterlibatan S20 di bawah Presidensi G20 telah mengidentifikasi kesehatan, perubahan iklim, dan teknologi sebagai tantangan paling mendesak dan penting di tahun 2020-an dan kedepannya. Kelompok keterlibatan S20 berfungsi menyediakan rekomendasi kebijakan berbasis bukti dan konsensus untuk topik-topik yang dipilih untuk pembuat kebijakan.
Rekomendasi tersebut, menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro, didasarkan pada pertimbangan ilmu pengetahuan yang ketat dan dirumuskan melalui diskusi matang di gugus tugas yang terdiri dari para ahli internasional dari dalam dan luar G20. Beberapa hari sebelum acara digelar, AIPI mengeluarkan rilis yang menyebut bahwa tantangan terbesar bagi wilayah perkotaan di dunia adalah polusi udara yang semakin dirasakan meningkat.
Kualitas udara harian yang diukur dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) kota-kota besar seperti New Delhi, Jakarta, Beijing, Seoul, Paris, London, dan New York, telah melampaui batas ambang batas normal kadar PM2.5 (Particulate Matters) yang direkomendasikan WHO. Menurut data UNEP (2019), empat miliar atau 92 % warga dunia di Asia dan Pasifik terpapar tingkat polusi udara yang membahayakan kesehatan mereka.
Paparan polusi udara dalam jangka panjang juga dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih buruk pada pasien Covid-19, terutama rawat inap (Imperial College London, 2021). Polusi udara juga terbukti telah merugikan lingkungan, ekosistem, dan keanekaragaman hayati, hasil pertanian, dan ekonomi.
Pemulihan Global
KTT G20 2022 menyerukan kolaborasi antarnegara menuju pemulihan global yang lebih kuat dan berkelanjutan. Untuk negara-negara Asia dan Pasifik, membangun kembali ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan solusi berbasis sains untuk mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca dari sumber polusi utama, sambil memastikan transisi yang adil.
Peningkatan kualitas udara menghasilkan banyak manfaat bagi masyarakat, terutama menyelamatkan nyawa; melindungi kesehatan perempuan, anak-anak dan mereka yang memiliki penyakit penyerta; percepatan mitigasi perubahan iklim; menghasilkan pekerjaan hijau; dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan kebijakan holistik global dan kesadaran kolektif warga dunia untuk melalukan upaya kolektif menekan dan memitigasi bahaya memburuknya kualitas udara.
S20 Engagement Group berfungsi menyediakan rekomendasi kebijakan berbasis bukti dan konsensus untuk topik-topik yang dipilih untuk pembuat kebijakan. Rekomendasi ini didasarkan pada pertimbangan ilmu pengetahuan yang ketat dan dirumuskan melalui diskusi matang di gugus tugas, yang terdiri dari para ahli internasional dari dalam dan luar G20.
Para ahli itu, antara lain, Ahmed M Saeed selaku Vice President for East Asia, Southeast Asia, and the Pacific, Asian Development Bank, dan juga sebagai Co-Chair S20; Professor dari College of Environmental Sciences and Engineering, Peking University, dan Anggota Tenaga Ahli Senior UNEP Technology and Economic Assessment Panel for implementing the Montreal Protocol, Anggota Dewan Clean Air Asia, Zhang Shiqiu.
Lalu Dechen Tshering – Direktur UNEP Kantor Regional Asia Pasifik, UNEP, Toshiyuki Yamasaki selaku Direktur Kantor Kerjasama Internasional, Air and Water Quality Management, Biro Managemen Lingkungan, Kementerian Lingkungan, Japan. Dan, Mani Muthukumara – Pimpinan Ekonom Lingkungan Asia Timur, Wilayah Asia tenggara, dan Pasifik, World Bank Group.
Juga ada Profesor Puji Lestari – Guru Besar bidang Air Quality Management and Atmospheric Chemistry dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB. Kemudian ada Profesor He Kebin, Academician of Chinese Academy of Engineering, School of Environment, Tsinghua University, Dean of Tsinghua University Institute of Carbon Neutrality. Dan,
A K Saxena, Senior Fellow and Senior Director, Electricity and Fuels Division, The Energy and Resources Institute (TERI), India.
Penulis: Eri Sutrisno
Sumber: indonesia.go.id