KATOE.ID – Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir atau yang kerap disapa dengan panggilan Abu Ja’far Ath Thobari atau Imam Thabari lahir pada akhir tahun 224 H awal tahun 225.
Para sejarawan yang menulis biografi al-Thabari tidak banyak menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga al-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Jika melihat faktor lingkungan ketika masa hidup Imam Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi keilmuan Islam mengakar kuat, terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya.
Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al Qur’an ketika aku berumur 7 tahun, dan sholat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan ayahku bermimpi, bahwa aku berada di depan Rasulullah dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan didepan Rasulullah. Lalu penta’bir mimpi berkata kepada ayahku: “Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna bagi diennya dan menyuburkan syari’atnya, dari sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku”.
Wafat
Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari meninggal pada waktu sore, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 Hijriyah. Beliau dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad.”
Pendidikan
Semasa hidupnya, Imam Thabari belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir. Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin, cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.
Guru-guru
Para guru Ibnu Jarir Ath-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu:
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib, Ismail bin Musa As-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar, Muhammad bin Hamid Ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd Al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, dll.
Murid-murid
Abu Syuaib bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar Asy-Syafi’I, Abu Ahmad Ibnu Adi, Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi, Abu Muhammad Ibnu Zaid Al-Qadhi, Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Abu Al-Mufadhadhal Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dll.
Sosok Sejarawan
Al-Thabari dikenal juga sebagai sejawan muslim yang sangat populer, kalau dibandingakna dengan ahli hadits sama terkenalnya dengan Bukhari dan Muslim. Dalam penulis sejarah Al-Thabari mempunyai metode-motode yang sangat unik. Inilah yang membedakan dia dengan sejarawan-sejarawan yang lain baik sejarawan sebelumnya maupun sesudahnya.
Hal-hal yang berkenaan dengan metode penulisan sejarah Al-Thabari adalah:
1. Berdasarkan kepada Riwayat
Dalam hal ini dia berpendapat bahwa sejarawan tidak otentik apabila hanya bersandar kepada logika dan kias. Di dalam muqodimah kitab sejarahnya ia berkata : “Hendaknya para pembaca mengetahui bahwa semua informasi yang disajikan di dalam kitab ini adalah informasi yang aku peroleh/terima/dengar dari perawinya langsung, dan aku tidak menyandarkannya kepada alasan-alasan logika, kecuali sangat sedikit.”
Karena disandarkan hanya kepada perawinya, maka di dalam kitabnya banyak ditemukan informasi yang berbeda-beda tentang peristiwa yang sama. Dalam hal ini, al-Thabari sendiri membiarkan para pembaca untuk menyeleksi, menilai, dan memilih informasi-informasi yang disajikan itu.
2. Sangat Memperhatikan Sanad
Informasi yang disajikan dalam kitabnya disertai peyebutan perawi dan sanadnya sehingga sampai kepada tangan pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Saw. Apabila informasi yang dikutif dari buku, maka al-Thabari akan menyebutkan nama pengarang buku itu. Apabila informasinya di dengarnya sendirian maka dalam karyanya dia akan berkata :haddatsani fulan…..(si fulan berkata kepadaku…..) dan apabila ada yang mendengar informasi itu bersamanya, maka dia akan berkata : haddatsana fulan….(si fulan berkata kepada kami….). Kadang-kadang dia juga menyandarkan informasi yang dituangkan di dalam kitabnya kepada surat menyurat. Misalnya dia berkata :kataba ilayya al-Sadiyy ‘an fulan ila akhirih ( al-Sadiyy menulis surat kepadaku, dari fulan dari fulan dan seterusnya).
Akan tetapi, dibagian akhir bukunya, terlihat bahwa dia tidak begitu ketat kepada sanad ini, seperti tidak lagi menyebut nama sumber pengambilan informasi. Ahmad Muhammad Hufi berpendapat bahwa sebab tidak ketatnya al-Thabari dalam menyebutkan perawi dan sanad dalam informasi-informasi yang tertuang dalam bukunya pada bagian akhir itu adalah karena informasi-informasi yang disajikan itu dapat menimbulkan kemurkaan penguasa.Oleh karena itu, al-Thabari berupaya mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap sumber informasi tersebut.
3. Sistematika penulisannya bersifat kronologi berdasarkan tahun (hawliyat, annalistic form).
Pada bagian bukunya yang menyajikan informasi sejarah sebelum Islam, peristiwa-peristiwa itu tidak disusun berdasarkan tahun, karena hal itu di luar kemampuannya. Bagian ini dimulainya dengan penciptaan Adam, kemudian Nabi-nabi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa masing-masing, kemudian raja-raja yang semasa dengan para nabi itu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa mereka, dan kemudian dia menyebut tentang umat-umat yang tumbuh setelah para nabi itu, sampai masa kelahiran islam.
Kemudian pada bagian yang menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah setelah kedatangan Islam, sistematika penulisannya dilakukan berdasarkan tahun demi tahun, sejak awal sejarahnya Nabi Muhammad ke Madinah sampai tahun 302 H. pada setiap tahun disajikannya peristiwa-peristiwa yang pantas disajikan.
Metode hawliyat ini sudah digunakan oleh sejarawan muslim sebelumnya seperti al-Haytsan ibn ‘Adi (w. 208 H), ja’far ibn Muhammad al-Azhar (w. 276), Amar ibn Wasimah al-Mishri (w.289), dan al-Waqidi (w.207). metode ini kemudian digunakan pula oleh sejarawan muslim sesudahnya, seperti ibn al-Maskawayh, ibn al-Atsir, Abu al-Fida’. Akan tetapi, Abu al-Yaqubi, al-Dinawari, al-Mas’ud, dan ibn Khaldun tidak menggunakan metode ini.Mereka yang tersebut terakhir ini menulis suatu peristiwa secara runtut dan rinci dari awal sampai akhir, meskipun berlangsung dalam waktu bertahun-tahun.
4. Informasi yang umum
Informasi-informasi sejarah yang tidak ada hubungannya dengan waktu tertentu, ditulis sendiri secara tematik.Misalnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahan khalifah tertentu, setelah itu dia membicarakan sifat-sifat, akhlak, dan keistimewaan-keistimewaan khalifah bersangkutan.
5. Menyajikan juga teks-teks sastra (syair)
At-Thabari dipandang banyak menyajikan teks-teks, sastra, serti syair, khitabah (pidato), surat-surat, dan perbincangan-perbincangandalam peristiwa-peristiwa bersejarah.Dalam hal ini meniru para sejarawan dan satrawan sebelumnya. Kajian sejarah kitab ini yang hanya sampai tahun 320 H (915 M) dilanjutkan oleh sejarawan-sejarawan yang datang sesudahnya.
Diantara sejarawan yang melanjutkan kajian sejarah al-Thabari ini adalah :
a) Kitab almuzayyil atau Shilat al-Tharikh karya Abu Muhammad al-Farghani seorang murid al-Thabari.
b) Kitab yang dikarang oleh Abu Hasan Muhammad al-Hamadzani (w. 1128). Kitab ini merekam peristiwa-peristiwa sejarah sampai tahun 1094 M.
Karya-karya
- Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
- Kitab Adabul Manasik
- Kitab Adab an-Nufuus
- Kitab Syarai’al-Islam
- Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam.
- Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama adalah tentang thoharoh, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.
- Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk)
- Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in.
- Kitab at-Tabshir.
- Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan adanya sanad al-Asyrah, Ahlu al-Bait, al-Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus-ratus jilid.
- Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at
- Kitab Haditsul Yaman
- Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
- Kitab az- Zakat
- Kitab Al ‘Aqidah
- Kitabul fadhail
- Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
- Kitab Mukhtashar Al Faraidz
- Kitab Al Washaya
Sejumlah buku yang belum sempat terpublikasikan antara lain:
- Ahkam Syara’i Islam
- ‘Ibarat al-Ru’ya
- Al-Qiyas
Berapapun jumlah karya al-Tabari yang ada dengan kondisi yang berbeda-beda, yang pasti al-Tabari adalah sosok yang sangat produktif, meskipun tidak seluruhnya bisa kita temukan, terutama bidang hukum seiring dengan lenyapnya fiqh madzhab Jaririyah yang pernah dibangunnya.
Artikel asli dari laduni.id : Biografi Imam Thabari