Penulis : Irwanda Nauufal Idris ( Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Batanghari dan Anggota Mapala Gitasada)
PADA Tanggal 11 juli sampai 19 Juli 2022, kami melakukan kegiatan Ekspedisi Sungai Batanghari, kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Ekspedisi ini memiliki tantangan tersendiri bagi saya, karena melakukan pengamatan, menggali informasi sambil berlayar menyusuri Sungai Batanghari.
Perjalanan itu bermula di Kabupaten Dharmasraya Sumatera Barat, kami melintasi tujuh Kabupaten, Kota, dan Dua Provinsi, yaitu Sumbar di hulu, dan Jambi di hilir, dengan jarak sekitar 600 kilo Meter (KM), kami menginap 2 hari di Hilir Sungai Batanghari tersebut yang bertempat di Desa Teluk Majelis. Sekaligus kami berkunjung ke Suku Duano di Kampung Laut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
pada tanggal 17 juli 2022. Kami mengunjungi masyarakat di Desa Kampung Laut Suku Duano, Dimana menurut keterangan masyarakat suku Duano. Bahwa leluhur mereka berasal dari Jeddah, berjumlah 7 orang yang berlayar menggunakan kapal secara terpisah dengan tujuan menyebarluaskan ajaran Islam ke segala penjuru.
Dan kemudian mereka diduga juga melakukan kegiatan berniaga. Suku Duano juga memiliki bahasa yang khas, yaitu bahasa Suku Duano, namun keindahan kebudayaan ini hampir tertutupi oleh pemandangan yang tidak menyenangkan, yaitu tumpukan – tumpukan sampah yang berserakan di bawah rumah masyarakat itu ssndiri, bahkan tumpukan sampah ini mencapai ketinggian 1 meter hingga 2 meter.
Permasalahan sampah ini memang banyak terjadi di wilayah pesisi dan wilayah hilir sungai Batanghari, mulai dari sampah kiriman yang terbawa arus sungai, disepanjang aliran yang membentang dari hulu hingga ke hilir Sungai Batanghari. Sampah di area pasar hingga sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh tiap rumah penduduk yang ada disana.
Hasil observasi kami menunjukkan bahwa, di Suku Duano, Desa Kampung Laut ini terdapat 15 RT, dan saya melihat bahwa disana tidak satupun tersedia Tempat Pembuangan Sampah (TPS), sebab yang saya lihat TPS tersebut hanya berada di pasar tradisional, memang disana ada 2 hingga 3 titik TPS yang kita-kira berukuran 2×3 M. persegi, namun ini tidak cukup untuk menampung sampah yang dihasilkan oleh masyarakat desa tersebut.
Sampah yang telah terkumpul di TPS tersebut, dijemput dan diangkut oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kabupaten Tanjung Jabung Timur, mereka yang melakukan penjemputan hanya Satu kali dalam satu minggu, saya pastikan kalau volume sampah tersebut sudah over kapasitas atau melebihi kemampuan daya tampung, maka itu tidak akan sanggup untuk menampung sampah yang ada disana, apalagi untuk menanggulangi sampah kiriman, sangat kecil kemungkinan permasalahan sampah ini dapat diatasi.
Kondisi yang dialami masyarakat saat ini ialah, mereka telah merasakan dampak dari pencemaran itu sendiri, serta kumuhnya pemukiman disana. Sebab mayoritas masyarakat Desa Duano menggunakan sumur bor atau sumur galian untuk keperluan mandi dan mencuci, sumur itu sendiri berada dibawah tumpukan sampah dan lumpur tebal diatas nya, sehingga berdampak secara langsung kepada kesehatan mereka, penyakit yang dialami seperti menderita gatal-gatal, infeksi kulit dan diare. Penyakit-penyakit itu sendiri sudah banyak diderita oleh masyarakat yang tinggal di desa tersebut.
Menurut keterangan beberapa warga, masyarakat Duano juga terancam dugusur karena pemukiman ini menghalangi proyek pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah setempat, namun masyarakat Duano menolak untuk digusur atau diusir dari rumah mereka, karena mereka kebingungan akan pindah kemana, sementara mayoritas perekonomian masyarakat berada dibawah rata-rata.
Kemudian bergeser sedikit ke lokasi kedua yang hanya berjarak sekitar 2 KM. yaitu Desa Teluk Majelis terletak di Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, disini terdapat 20 RT. dan 5 Dusun. Masyarakat di sana pekerjanya rata-rata sebagai petani, dan mereka menanam komoditi Kelapa dan pinang yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat, dan keseharian mereka juga berkerja sebagai nelayan.
Kontur tanah di Desa Teluk Majelis ini merupakan daratan rendah dan lahan basah (rawa), karena kawasan ini termasuk daerah pesisir, yang berlokasi sangat dekat dengan laut, umumnya permasalahan lingkungan yang marak terjadi di wilayah pesisir adalah masalah sampah dan abrasi.
Sampah kiriman dari huluan Sungai Batanghari dan dibawa arus air hingga ke Desa Teluk Majelis, ditambah dengan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Teluk Majelis itu sendiri, bahkan mebuang sampah sembarang sudah menjadi hal yang biasa dilakukan, seperti membuang sampah ke bawah rumah, dilokasi ini sangat minim sekali TPS yang disediakan, hingga saat ini masih belum ada solusi atau langkah kongkrit yang diambil oleh pemerintah maupun masyarakat Desa terhadap permasalahan sampah dan abrasi ini.
Padahal Desa Teluk Majelis ini kaya akan budaya, adat istiadat. Itu terlihat dari peninggalan sejarah seperti CB atau OPK nya, namun pencemaran lingkungan oleh sampah ini menjadi alasan utama bagi mereka.
Mengapa kita harus mulai berbenah diri, menumbuhkan rasa cinta, kesadaran serta kepedulian terhadap Desa Teluk Majelis ini, agar kebudayaan dan keindahan bentang alam nya dapat kita lestarikan, kita harus bersama-sama dan bergotong-royong untuk mencari solusi yang tepat terhadap persoalan ini. Berkolaborasi bersama-sama, mulai dari segala lapisan masyarakat, pemuda desa dan pemerintah, kita harus mengambil langkah kongkrit untuk pelestarian lingkungan hidup dan budaya di desa teluk majelis dan Desa kampung laut tersebut. (*****)