KATOE.ID – Kenaikan suhu laut memberi dampak langsung pada sumber kehidupan para nelayan dan penjual ikan di sepanjang pesisir barat India. Hasil tangkapan mereka semakin sedikit sekarang.
“Kami menghabiskan berjam-jam di tengah laut, tapi tidak ada satu ikan pun yang bisa kami bawa pulang. Tidak ada seekor ikan pun di lima jala kami,” kata Darshan Kini, seorang nelayan di pesisir Mumbai, setengah frustasi pada suatu pagi di bulan lalu.
Pria 36 tahun ini bersama nelayan-nelayan lain baru saja kembali ke pelabuhan di Pantai Marve, pinggir Kota Malad.
Dia telah melaut dan mencari ikan di bagian Laut Arab ini, sebelah barat pesisir India, bersama ayah dan kakeknya sejak usianya tiga atau empat tahun.
Namun keadaan sudah sangat berubah sejak masa kecil Darshan Kini.
“Kakek saya dulu sering bercerita, bagaimana ikan-ikan besar seperti hiu, ikan pari, dan lumba-lumba memenuhi laut ini. Ketika saya masih kecil, kami akan melempar jala di mana saja dan seember ikan akan terjaring. Namun hari ini, kami tidak dapat satu pun.”
Di musim panas yang ditandai dengan cuaca panas yang terlewat panas, ikan-ikan seperti telah menghilang sama sekali dari teluk.
Para nelayan dari Mumbai – yang disebut sebagai Koli – di masa lalu pernah bisa menemukan banyak sekali ikan dengan hanya berlayar sejauh 2-3 km saja. Sekarang mereka harus melaut hingga 30-40 km untuk memperoleh ikan yang berbeda-beda.
Namun dengan naiknya harga bahan bakar, nelayan tradisional seperti Kini tidak mampu melakukannya saban hari. Terlebih, mereka juga harus bersaing dengan kapal-kapal besar yang menjaring ikan dengan pukat.
Sementara itu, di pesisir pantai bagian selatan yang ada di Negara Bagian Kerala, Baiju PB berkata bisnisnya terus merugi karena badai siklon semakin sering datang, terutama sejak Badai Siklon Ockhi pada 2017 – salah satu badai yang paling parah menyebabkan kerusakan di pesisir barat India.
Baiju, yang memiliki beberapa kapal nelayan, mengatakan tarli atau mathi – ikan sarden paling terkenal di negara bagian itu – nyaris menghilang dari perairan itu.
Sejak 1951 hingga 2015, suhu permukaan laut di Samudera Hindia telah naik sebesar 1C di wilayah khatulistiwa dengan tingkat 0,15C per dekade, menurut laporan dari Kementerian Ilmu Bumi India.
Ini menyebabkan peningkatan frekuensi badai siklon yang semakin ganas di sepanjang pesisir barat. Gelombang panas di laut juga tercatat terus meningkat di wilayah ini.
Dan dengan semakin panasnya lautan, ikan-ikan bermigrasi ke tempat lain.
“Sama seperti manusia yang hidup di dalam rumah, ikan juga butuh habitat untuk tinggal dan terumbu karang menyediakan itu. Tapi perubahan suhu menghancurkan terumbu karang,” pakar biologi kelautan Vardhan Patankar menjelaskan.
Naiknya suhu ini juga mempengaruhi tingkat fertilitas ikan, kata dia.
“Banyak spesies ikan bergantung pada reaksi kimia berbeda untuk bereproduksi. Dengan kondisi-kondisi tertentu, ikan jantan dan betina melepaskan gamet di waktu bersamaan, dan organisme baru terbentuk.
“Tapi meningkatnya suhu mengubah komposisi kimia pada air laut. Mereka tidak dapat melepaskan gamet bersamaan dan oleh karena itu populasi ikan berkurang,” lanjutnya.
Panas ini juga membunuh phytoplankton, makanan ikan.
Sebuah laporan dari Departemen Perikanan India pada 2020 menyebut bahwa jumlah ikan tangkapan dari laut telah meningkat di sepuluh tahun terakhir – dari 3,2 juta ton di 2010 menjadi 3,7 juta ton pada 2020.
Tapi angka ini tidak menunjukkan gambaran sebenarnya, ujar Devendra Damodar Tandel dari Asosiasi Nelayan Maharashtra.
“Alih-alih melihat jumlah total dalam setiap tahun, kita harus melihat bulan-bulan di mana sebagian besar ikan ditangkap,” ujar dia.
“Biasanya, aktivitas menangkap ikan harus berhenti selama tiga bulan di musim hujan kala itu musim berkembang biak ikan. Tapi sekarang menangkap ikan hanya dilarang selama dua bulan. Sudah begitu, beberapa kapal masih juga mendatangi area terlarang untuk menangkap ikan secara ilegal.”
Tandel mengaku khawatir bahwa ini, ditambah dengan perubahan-perubahan di laut, akan membuat ikan-ikan di kawasan pesisir Maharashtra punah dalam waktu dua atau tiga tahun.
Orang-orang tidak menganggap perubahan di laut secara serius, kata dia.
“Pohon-pohon ada di depan mata kita, oleh karena itu kita peduli pada hutan. Tapi kita tidak bisa melihat langsung apa yang terjadi di laut.”
Kenaikan suhu lautan ini telah memberikan dampak langsung pada sumber penghidupan para penjual ikan, terutama perempuan, yang menjadi tulang punggung aktivitas ini.
Ada sekitar 2,8 juta orang yang mencari uang dari industri perikanan di seluruh India, dan perempuan menyumbang 70% dari tenaga yang dibutuhkan setelah ikan ditangkap dari laut, seperti untuk membersihkan dan menjualnya.
Penurunan jumlah ikan yang ditangkap secara langsung berpengaruh pada kemerdekaan finansial mereka.
Nayana Bhandari, sudah menjadi penjual ikan di pasar Desa Charkop di Mumbai selama beberapa tahun.
Dia berkisah, dulu keluarga mereka hidup dengan pendapatan suaminya, dan apa yang dia dapatkan dari berjualan bisa ditabung. “Tapi sekarang kami tidak bisa menabung lagi.”
Berkurangnya ikan juga menimbulkan krisis bahan pangan pokok di wilayah itu.
Harga ikan bawal, misalnya, kini mahal sekali, kata Manisha, seorang pembeli di pasar ikan Malad di Mumbai.
Dua ekor ikan bawal sekarang dijual dengan harga 2.500 rupee (Rp474.000) di pasar ikan Malad, 1.400 rupee (Rp260.000) lebih mahal dari harga tahun lalu.
“Dulu kami biasa mendapatkan tipe-tipe ikan berbeda dengan ukuran yang lebih besar. Kami bisa makan ikan tiga atau empat hari dalam sepekan. Sekarang, kami hanya mampu makan ikan sehari atau dua hari seminggu,” lanjutnya.
Sementara itu, keluarga Kini mulai menjual ikan hasil tangkapannya melalui WhatsApp.
Musim hujan telah mencapai pesisir India di minggu terakhir bulan Mei, beberapa hari lebih cepat dari biasanya. Saat menangkap ikan sudah diperbolehkan lagi nanti setelah hujan selesai, Kini berharap ikan-ikan akan kembali .
Sumber: suara.com