KATOE.ID – Seperti yang dikatakan Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), isu perubahan iklim sering dibicarakan di pertemuan-pertemuan global, namun aksi di lapangannya belum terlihat. Hal ini Ia ungkapkan ketika membuka Sidang Ke-144 Assembly of The Inter-Parliamentary Union (IPU) and Related Meetings yang berlangsung di Bali, Minggu (20/3/2022).
Jokowi mengatakan, risiko perubahan iklim bisa mendisrupsi berbagai aspek kehidupan global, mulai dari kelangkaan energi dan pangan, hingga gangguan logistik dalam pengiriman, sehingga dampaknya bisa mendorong kenaikan inflasi dan rakyat kesulitan dalam menjangkau harga-harga yang naik.
Pandangan Jokowi tersebut diungkapkan oleh Dewan Pertimbangan Kadin, Melli Darsa. Ia mengatakan, saat ini sudah tidak bisa dipungkiri langkah dunia ke depan haruslah sejalan dengan prinsip ekologi. “Ekosistem dan strategi pembangunan peradaban dunia ke depan, harus seimbang antara, ekonomi, kemanusiaan, dan ekologi. Sayangnya pada saat kemarin di COP26 Glasgow, aspek ekologi tidak diangkat secara holistik khususnya tentang risiko kepunahan tanah,” kata Melli melalui keterangan tertulis, Senin (21/3/2022).
Pada momentum penyelenggaraan IPU di Indonesia ini, Ia berharap pertemuan forum parlemen global dapat membahas perubahan iklim secara lebih holistik, mencakup ketersediaan energi, air, dan kondisi tanah.
“Kondisi tanah secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan. Dan ini sejalan dengan SDGs Goal 2, yaitu Zero Hunger. Saya rasa ini isu yang amat penting dan langsung menyentuh bagi masyarakat,” pungkasnya seperti yang dilansir dari kompas.com, Selasa (22/03/22).
Menurut Peneliti asal Indonesia dari University of New South Wales Sydney, School of Biotechnology and Biomolecular Science, Nico Wanandy, untuk menjaga nexus kehidupan tersebut, kesehatan tanah memainkan peranan sentral.
“Kesuburan tanah dapat memberikan dampak yang luar biasa untuk kehidupan sosio-ekonomi juga dalam pencegahan perubahan iklim, termasuk perekonomian masyarakat, apalagi untuk negara agraris yang alamnya kaya seperti Indonesia. Di India, penghasilan petani sempat di bawah rata-rata, lalu Pemerintah India menggalakan praktek agrikultur yang mempromosikan kesehatan tanah, dan hasilnya penghasilan petani meningkat 230 persen,” jelasnya.
Terkait peeranan tanah dalam ketersediaan air, Ia menjelaskan peningkatan 1 persen dari materi karbon di lapisan atas tanah bisa meningkatkan kapasitas menampung air sebesar 180.000 galon per hektar.
Air yang tersimpan di dalam tanah merupakan sumber dari 90 persen produksi pertanian dunia dan menyumbangkan tidak kurang dari 65 persen kebutuhan air bagi manusia khususnya.
“Jika kita mampu meningkatkan kandungan karbon organik dalam tanah 0,4 persen setiap tahunnya, dapat membantu mengurangi risiko bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai. Jadi secara holistik, pembangunan berkelanjutan, transisi energi bersih, soal pangan dan ketersedian air, semua kembali ke tanah,” ujarnya.
Editor: Alpin.R
Sumber: kompas.com