Oleh : Putra Agung*
RIUH integrasi ekonomi sudah terdengar sejak beberapa tahun yang lalu dengan dimulainya dengan kehadiran Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang merupakan agenda bersama negara-negara ASEAN. Agenda ini bertujuan untuk menghilangkan (free flow) hambatan-hambatan didalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, memungkinkan satu negara bisa menjual barang dan jasa dengan mudah ke Indonesia, begitu pula sebaliknya serta sebuah negara juga bebas untuk berinventasi, berdagang di Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan kesenian? Sebagai sebuah aktifitas di wilayah rasa dan ekspresi, kesenian apapun bentuk, genre serta asalnya dituntut untuk turut berstrategi sekaligus membaca peluang agar bisa menembus pasar internasional serta tidak mundur teratur dan malahan menjadi tamu di negeri sendiri.
Peluang
Kehadiran integrasi ekonomi ini sebenarnya momentum bagi kesenian dan para pelaku seni untuk mampu menembus akses pun jaringan internasional serta memperoleh pendapatan secara ekonomik yang selama ini kerap dinafikan dalam panggung seni dengan alasan idealisme.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan hambatan perdagangan barang dan jasa akan cenderung berkurang bahkan menjadi nyaris tidak ada. Sebagai contoh, warga Kerinci-Jambi selaku seller dapat langsung bertemu dengan warga Singapura sebagai Buyer saat ‘memperdagangkan’ seni budaya tradisi semisal Festival Kenduri Sko tanpa melalui lagi rantai distribusi yang panjang, berbiaya tinggi bahkan acap kali penuh mafia.
Festival Kenduri Sko ataupun festival budaya lainnya tak hanya mampu memperkenalkan namun bisa ‘memperdagangkan’ kekayaan seni budaya sekaligus menstimulus kekayaan potensi lokal daerah serta berdampak terhadap ekonomi kreatif masyarakat mulai dari kuliner, UMKM, penginapan dengan kehadiran wisatawan domestik dan manca negara.
Tak sebatas itu, kemudahan perdagangan barang dan jasa di era MEA ini akhirnya menciptakan kompetisi sehat antar seniman sehingga mau tidak mau menuntut para pelaku seni untuk membuat keunggulan baik dari sisi kualitas karya, orisinilitas, pengolahan atau eksprerimentasi karya, pola distribusi, teknik publikasi hingga penguasaan teknologi dalam berkesenian.
Hal ini akhirnya mendorong secara naluriah proses penciptaan karya maupun even seni yang berkualitas melalui penguatan tradisi, relasi personal/komunal seniman dengan masyarakat lokal, penggalian sejarah, identitas seni hingga terjadinya penelitian, re-observasi hingga re-interprestasi karya seni dalam proses kreatif berkesenian. Sungguh menakjubkan proses tersebut !
Bagaimana bila ini tak dilakukan? Sah-sah saja dan tak jadi masalah namun jangan heran apalagi marah bila ada maestro atau tokoh tradisi yang tak dikenal masyarakat luas, hidup susah dan kalah terkenal dengan anak muda kemarin sore yang mampu ‘menjual’ serta membungkus kesenian dalam konsep perdagangan modern; promotif, variatif, aksesif dan kreatif.
TANTANGAN
Seiring dengan peluang seperti diuraikan sebelumnya, era integrasi ekonomi juga memunculkan sejumlah tantangan yang harus mampu diselesaikan bersama dengan penuh kesadaran.
Pertama, iklim seni yang sehat.
Lono Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Pergelaran”, menyebut hidup matinya, lurus bengkoknya kesenian sebenarnya merupakan hasil dan bentuk relasi antara masyarakat pemilik kesenian tersebut dengan stake holders lainnya.
Artinya, hadirnya ekosistem seni yang sehat, dimana didalamnya terdapat seniman sebagai produsennya, konsumen adalah penonton/penikmat/pengunjung pertunjukan atau pameran. Selain itu, terdapat didalamnya infrastruktur memadai, kehadiran kurator, manager even, dramaturg, skenografer, arsiparis, hingga produser pertunjukan. Sebagai penjaga ekosistem hadir kritikus seni, akademisi, hingga jurnalis dan media.
Kedua, Peningkatan Kemampuan Non Seni
Kompetisi antar pelaku seni juga akan semakin kompetitif saat integrasi ekonomi sehingga peningkatan kemampuan non seni juga mesti dilakukan. Mulai dari dimulainya proses sertifikasi pelaku seni sebagai bentuk granted atau jaminan mutu bagi buyer untuk ‘membeli’ karya seni atau even seni. Proses sertifikasi juga menjadi alat ampuh untuk menyaring, menjaring seniman dan yang berpura-pura seniman.
Peningkatan kemampuan mengerti atau bisa berbahasa Inggris juga harus digalakkan. Hal ini penting sebab integrasi ekonomi mensyaratkan tiga kemampuan tambahan; bisa berbahasa Inggris dengan baik, dapat mengoperasikan pekerjaan secara komputasi, dan mampu beradaptasi dengan kecepatan tekhnologi.
Terakhir, diperlukan peningkatan kemampuan non seni dalam pembiasaan mental HOPE’S (Humble, Open minded, Positive thinking, Energic, & Survival).
Ketiga, Pendalaman Teknologi
Pentingnya memahami dan menggunakan tekhnologi menjadi salah satu poin penting dalam integrasi ekonomi dikarenakan sebagus apapun karya seni atau festival seni yang dibuat para seniman akan melemah serta menurunkan nilai tawar ketika berhadapan dengan produk serupa dari negara lain yang telah menggunakan pemanfaatan tekhnologi, setidaknya dalam hal pemasaran, publikasi dan pembayaran.
Salah besar jika mengatakan teater, tari, ritus, rupa, upacara adat, sastra, puisi, music tak bisa diaplikasikan dalam berbagai bentuk teknologi. Siapa bilang “Telusur Jejak Leluhur” karya Didin Siroz tak bisa ‘diperdagangkan’ dalam Tokopedia? Siapa bilang lukisan magis “Batanghari” karya Ja’far Rasuh tak bisa dijajakan di Lazada? Siapa bilang kesyahduan puisi “Istana Bunga” karya alm. Firdaus tak bisa dilihat pada katalog Bukalapak?
Pendalaman dan penguasaan teknologi khususnya dalam penggunaan aplikasi perdagangan secara elektronik atau populer disebut e-commerce menjadi tantangan sebab e-commerce melakukan penyebaran, pembelian, penjualan melalui sistem elektronik secara daring dan massif.
Keempat, Pembenahan Paradigma Birokrasi
Memasuki era integrasi ekonomi, peran birokrasi di pemerintahan sangat vital sehingga harus segera berbenah atau merubah paradigmanya tentang kesenian. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk TIDAK ABAI terhadap seniman, memperlakukan seniman setara dengan pengusaha serta merumuskan aturan yang mengangkat potensi ekonomi seniman dan kesenian.
Birokrasi dituntut mengubah paradigmanya tentang pendapatan ekonomi dari ekonomi konvensional ke ekonomi kreatif. Salah satu acuannya, pada tahun 2014, ekonomi kreatif mampu berkontribusi 7,1 persen terhadap PDB nasional, menyerap 12 juta tenaga kerja.
Birokrat juga perlahan menanggalkan trade mark-nya yang selama ini sudah terbangun di benak masyarakat: berbelit-belit, memakai uang pelicin, penuh kolusi, koruptif dan selalu minta dilayani.
Semoga peluang dan tantangan dalam berstrategi berkesenian di era integrasi ekonomi mampu diselesaikan bersama-sama hingga navigasi akhirnya menjadikan seniman sehat, bermartabat dan terhormat.
//salamngopi/
*Penulis merupakan pekerja seni pertunjukan, sutradara, dramaturg, kurator dan saat ini menjadi salah satu Brand Ambbasador Art Calls Indonesia (ACI).
Referensi:
- Association of Southeast ASIAN Nations (2008). ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BLUEPRINT. Jakarta: Asean Secretariat.
- Cahyono, Eddy (2014). “Peningkatan Daya Saing Ekonomi & Peran Birokrasi”
- Chaudhury, Abijit & Jean-Pierre Kuilboer (2002), e-Business and e-Commerce Infrastructure, McGraw-Hill
- DeLee, (2012) Magic Of Creativepreneur, “Bagaimana Anda Bisa Menjadi Inovatif secara Ajaib Dan Menjadi Seorang Bisnis Enterprneur Sukses dalam dunia Industri Ekonomi Kreatif”, ABNG Publishing
- Lono Simatupang, (2013), Pergelaran: Sebuah mozaik penelitian seni-budaya
- Nunuy Nur Afiah (2009), Kewirausahaan memperkuat UKM Indonesia Menghadapi Krisis Finansial.