Datuk Anjang Suud: Tak Hanya Tradisi, Balumbo Biduk Adalah Identitas Diri Masyarakat Sarolangun
KATOE.ID – Balumbo Biduk atau Lomba Perahu menjadi salah satu tradisi masyarakat di Kabupaten Sarolangun saat merayakan hari raya Idul Fitri. Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat bumi “Sepucuk Adat Serumpun Pseko” selalu mengadakan event tersebut. Bahkan, Balumbo Biduk menjadi salah satu agenda dari pemerintah kabupaten.
Namun, 2 tahun terakhir (2020-2021), lomba yang dinanti-nantikan oleh masyarakat lokal hingga diluar Sarolangun ini tidak diselenggarakan lantaran Pandemi Covid-19. Meskipun begitu, masyarakat berharap Balumbo Biduk ini dapat diselenggarakan di tahun 2022 ini, karena pemerintah sudah banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan besar meskipun dihadiri banyak orang asal tetap mematuhi protokol kesehatan. Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Sarolangun pada tahun ini kembali tidak melaksanakan kegiatan tersebut.
Alasannya tidak ada anggaran. Seperti yang dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Olahraga (Disparpora) Sarolangun, agenda pacu perahu untuk edisi tahun 2022 ini kembali tidak dilaksanakan. “Tidak dilaksanakan karena anggaran kita terbatas. Selain persoalan itu, kondisi sungai yang dangkal juga kendala lainnya,” kata Kepala Disparpora Sarolangun, Kasiyadi, Jumat (13/04/22) sebagaimana dilansir dari sekato.id, Selasa (19/04/22).
Bahkan, untuk penanggulangan anggaran melalui sponsor pun ia mengaku tidak memiliki relasi untuk melaksanakan kegiatan tersebut. “Kito nak mintak duit ke sponsor itu dak punyo relasi dengan perusahaan pak,” ujar kadis yang kerap disapa Cak Kas.
Hal tersebut direspon oleh salah satu tokoh pemuda di Sarolangun, Andry Budiman. Ia mengatakan, dalam upaya pemulihan ekonomi masyarakat, agenda pacu perahu menjadi salah satu langkah tepat yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah. “Sangat kita sayangkan agenda ini tidak dilaksanakan lagi. Padahal pacu perahu ini merupakan kegiatan turun temurun yang selalu dilaksanakan saat perayaan Idul Fitri. Jadi bagi masyarakat, acara ini pertanda bahwa Idul Fitri sudah selesai,” ungkapnya, Minggu (17/4).
“Setiap tahunnya, pelaksanaan Festival Beatrix ini selalu menjadi tontonan menarik bagi masyarakat. Ada ribuan orang yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, bahkan dari luar daerah. Tentu ini menjadi dampak positif bagi kita. Tidak hanya nilai sejarah yang terangkat, tapi ada banyak pedagang-pedagang kecil, UMKM hingga tukang parkir yang turut merasakan manfaatnya. Akhirnya ini membuka peluang bisnis untuk mendongkrak peningkatan ekonomi disaat upaya pemerintah menstabilkan kembali ekonomi daerah,” jelasnya.
Persoalan keterbatasan anggaran, Andry menilai mestinya tidak menjadi alasan untuk tidak dilaksanakan kegiatan ini. Mengingat ada begitu banyak solusi yang bisa ditawarkan jika pemerintah membuka ruang diskusi dengan seluruh elemen masyarakat dan pemuda.
“Jadi kalau kendala sungainya dangkal, Sarolangun ini merupakan wilayah yang dikelilingi oleh sungai, ada banyak tempat yang bisa dimanfaatkan. Kemudian masalah anggaran, kita tidak tutup mata kalau Sarolangun ada begitu banyak perusahaan yang bisa kita ajak dan tawarkan kerjasama. Kalau Pemkab tidak mampu dan tidak mau mengadakan kegiatan ini, tidak ada salahnya menyerahkan kepada kelompok-kelompok kepemudaan di Sarolangun,” tegasnya.
Ia berharap, pemerintah mengkaji ulang keputusan ini. Karena melalui kegiatan ini juga lahir atlet-atlet berprestasi.
Tim Dayung Sarolangun pernah tiga kali ikut berpartisipasi di kancah internasional. Bahkan diantaranya pernah meraih Dragon Boad Race dengan menundukkan Tim Police De Raja Malaysia di Tanjung Pinang, Riau Tahun 2015. Kemudian mengalahkan Tim Myanmar di Sumatera Barat Tahun 2013 dan 2014.
Balumbo Biduk Dimata Datuk Anjang Suud
Lomba Perahu atau Pacu Perahu dan juga dikenal nama Balumbo Biduk dalam bahasa daerah setempat ini menjadi salah satu agenda besar budaya di kabupaten Sarolangun dikenal dengan Festival Beatrix. Kegiatan ini bertujuan untuk memompa kembali semangat gotong royong serta menjaga kelestarian salah satu budaya masyarakat Bumi Sepucuk Adat Serumpun Pseko.
Salah satu tokoh masyarakat, Datuk Anjang Suud memberikan pandangan bahwa Balumbo Biduk bukan hanya sebatas tradisi turun temurun dari nenek moyang terdahulu, namun juga menjelma menjadi identitas diri dan daerah yang wajib dilestarikan.
“Balumbo Biduk ini sangat penting bagi masyarakat Sarolangun. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengenang sejarah nenek moyang terdahulu. Dimana sungai dan biduk menjadi elemen penting bagi masyarakat dulu bahkan hingga saat ini,” ungkap Datuk Anjang Suud.
“Jadi ini tidak sebatas hiburan rakyat atau sebatas perayaan Idul Fitri. Tapi kegiatan ini sudah menjadi bagian dari sejarah hidup masyarakat Sarolangun. Tradisi menggunakan biduk sudah mengakar pada masyarakat sejak ratusan tahun lalu. Karena memang kehidupan masyarakat Sarolangun bermula di pinggiran Sungai Tembesi,” sambung Datuk.
Menurut Datuk, sejak dulu masyarakat Sarolangun sudah akrab dengan sungai. Ini lantaran hampir seluruh mobilitas masyarakat Sarolangun pada saat itu dilakukan di sungai. Khususnya bidang perekonomian dan transportasi.
“Hal ini berlangsung hingga tahun 90-an. Jadi, dulu kalau orang datang ke kampung-kampung di Sarolangun, banyak ditemukan biduk-biduk kecil tersusun di sepanjang pinggiran sungai. Hampir setiap rumah punya satu biduk,” tuturnya.
Akibat cepatnya ekspansi modernisasi, penggunaan biduk mulai berkurang dan bahkan hanya sebagian kecil masyarakat yang masih menggunakannya. Itupun bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan penyedia jasa transportasi untuk wilayah-wilayah terpencil yang belum terjamah akses darat.
“Jadi, sungai dan biduk ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan Sarolangun saat ini. Untuk itu, kegiatan Balumbo Biduk ini menjadi hal penting untuk dilestarikan. Bukan hanya sebatas mengingatkan kita pada sejarah masa lampau, namun juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga sungai demi kelangsungan hidup mendatang, terutama bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya,” tegas Datuk Anjang Suud.
“Dengan kegiatan ini, orang-orang akan melihat secara langsung keberagaman yang ditampilkan para peserta. Mulai dari baju adat khas masing-masing desa, bentuk biduk, corak dan lainnya. Bahkan secara tidak langsung orang-orang akan melihat bagaimana kondisi sungai kita saat ini yang sudah mengalami kerusakan akibat ulah kita sendiri. Dan ini merupakan tanggung jawab moral kita semua terhadap leluhur dan generasi yang akan datang,” pungkas Datuk. (**/Alpin.R)