KATOE.ID – Bertajuk “Peluang Hukum Adat Diterapkan Dalam Mekanisme Restorative Justice” menjadi topik dalam dialog interaktif Jaksa Menyapa yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi bersama Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi di RRI Pro 1chanel 88.5 FM pada Jumat Pagi (18/03/2022).
Dalam dialog tersebut, Kasi Penkum Kejati Jambi, Lexy Fatharany mengatakan penghentian perkara berdasarkan Restorasi justice ini, perkaranya harus masuk dalam siatem hukum terlebih dahulu. “Artinya ada tersangkanya, kemudian kita cek dulu pasalnya yang dilanggar,” ujarnya.
Ia menyampaikan, ada 3 syarat utama yang diatur Peraturan Jaksa 15 tahun 2020, yaitu pelaku baru sekali berbuat pidana, ancamannya kurang dari lima tahun dan kerugian maksimal Rp2,5 juta.
Dijambi ini, kata Lexy sudah ada 12 kasus pidana yang dihentikan dan tidak sampai persidangan. “Jika dikaitkan dengan Hukum Adat sebenarnya penghentian ini memang diutamakan ada perdamaian yang harus disaksikan oleh tokoh adat, tokoh agama dan kami melihat LAM Jambi ini sudah komplit dan kedepan kami mengharapkan seluruh kabupaten kota juga ada kampung restoratif justice,” jelasnya.
“Hukum adat ini hidup dimasyarakat dan para tokoh adat serta pemuka agama juga duduk di LAM Jambi. Oleh karena itu kami berharap LAM Jambi bisa mendorong berdirinya kampung Restoratif justice atau di bahasa Jambi-nya kampung seiyo sekato ditiap kabupaten kota seperti halnya yang sudah diresmikan Kajati Jambi Sapta Subrata di Desa Sekancing Merangin dan Desa Sungai Abang Sarolangun,” lanutnya.
Sebagai narasumber dalam Jaksa Meyapa ini, Ketua Bagian Hukum dan Sejarah LAM Jambi, Datuk Hasan Basri Jamit menyampaikan, Hukum Adat yang ada di Jambi ini memang hidup ditengah masyaraka.
“Beberapa kasus kecelakaan, pencurian, penganiayaan perkelaihan bisa diselesaikan secara adat. Kedepan kita akan memfasilitasi dan melatih para tokoh adat dijambi ini supaya bisa membantu penyelesaian hukum tanpa harus dihukum atau pidana,” katanya.
Ia juga menyampaikan bahwa Wali Kota Jambi sudah menganggarkan dana untuk pelatihan tokoh adat. Hal ini menurutnya selaras dengan kebijakan Jaksa Agung supaya pelaku bisa di berikan restoratif Justice sehingga keadilan itu memang terasa dimasyarakat.
Jambi Sudah Miliki 2 Kampung Restorative Justice
Provinsi Jambi telah memiliki 2 Kampung Restorative Justice yakni berada di Desa Sekancing, Kecamatan Tiang Pumpung, Kabupaten Merangin dan Desa Sungai Abang, Kecamatan Sarolangun, Kabupaten Sarolangun.
Desa Sekancing merupakan kampung Restorative Justice pertama di Provinsi Jambi. Peresmian ini dilaksanakan pada Rabu (23/02/2022) lalu di Balai Adat Desa Sekancing. Berlangsung secara adat, kampung ini resmi ditetapkan Kejati Jambi Sapta Subrata sebagai Kampung Restorative Justice.
Diresmikannya kampung tersebut, Kepala Kejati Jambi, Septa Subrata berharap semua desa di Kabupaten Merangin bisa menjadi Kampung Restorative Justice,.
“Tidak semua persoalan langsung diselesaikan dengan hukum negara, tetapi bisa dibicarakan secara adat kampung. Untuk itu melibatkan tokoh adat, tokoh agama, untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut,” kata Septa, Rabu ( 23/02/22).
Memurutnya, Kampung Restorative Justice Bumikan Hukum ke Masyarakat. Apabila ada permasalahan bisa diselesaikan di kampung, sehingga kondisi kampung bisa tenang dan harmonis. Kalau kondisinya sudah demikian, maka pembangunan akan mudah dilakukan.
Sementara itu, Kepala Kejati juga meresmikan Kampung Restorative Justice di Desa Sungai Abang di Sarolangun pada Kamis (24/02/22) di Kantor Desa.
Di kampung tersebut, Septa mengatakan implementasi restorative justice untuk memulihkan keadaan dan keadilan di tengah masyarakat, terkadang di masyarakat adanya silang pendapat, konflik dan gesekan, maka restorative justice harus di tonjolkan sesuai dengan kearifan lokal, adat istiadat, inilah sarana bermusyawarah untuk menuju mufakat dan perdamaian.
“Dengan penegakan restorative justice, tidak semua perkara diproses dituntut dan diadili, sebaliknya bisa di selesaikan di tingkat desa dengan melakukan perdamaian dengan syarat dan ketentuan tertentu, bersama tokoh adat, tokoh agama dan pemerintahan desa sebagai medaitor dan fasilitator,” sebutnya.
Septa menegaskan, hukum itu kepastian, keadilan dan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat, tentu restorative justice jembatan untuk pendekatan serta pemulihan keadaan di masyartakat. Diharapkan Desa Sungai Abang bisa menjadi contoh diantara 148 desa lainnya di 11 kecamatan dalam Kabupaten Sarolangun.
“Yakinilah, jika di kampung aman, tentram, seiyo sekato, insya allah masyarakat menjadi sejahtera. Sebab, keseimbangandan hubungan baik di masyarakat sudah terbentuk,” pungkasnya.
Mengenal Restorative Justice
Lembaga penegak hukum di Indonesia mulai mengadopsi prinsip Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.
Menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku “A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives” (1996), restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Sedangkan menurut laman resmi Mahkamah Agung, prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA).
Prinsip keadilan restoratif atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Dialog dan mediasi dalam keadilan restoratif melibatkan beberapa pihak di antaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana.
Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Prinsip utama dalam keadilan restorative adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Penerapan keadilan restoratif bermula dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan masyarakat, yang disebut dengan victim offender mediation (VOM), di Kanada pada 1970-an.
Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.
Menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
Penerapan Restorative Justice di Indonesia
Salah satu landasan penerapan restorative justice oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020.
Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang.
Menurut MA, konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482).
Selain itu, prinsip restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika.
Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020.
Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.
Kapolri Intruksi Penyidik Miliki Prinsip mengedepankan Restorative Justice
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.
Sementara itu, Listyo menyatakan tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.
Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Editor: Alpin.R