KATOE.ID – Perubahan iklim mulai terasa di Indonesia. Salah satu buktinya, es yang berada di Puncak Gunung Jaya Wijaya, Papua terus mencair. Bahkan diprediksi akan punah pada 2025.
Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dr. Donaldi Permana mengatakan, perubahan iklim berdampak pada masyarakat.
Misalnya, terjadi peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem berupa hujan lebat dan petir, angin kencang, puting beliung, hingga siklon tropis.
Kondisi tersebut bisa memicu terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan berkepanjangan, dan lainnya.
“Dampak terhadap pertanian di antaranya perubahan musim, panjang musim dan awal musim hujan maupun kemarau. Hal ini berdampak pada hasil panen/komiditas pertanian,” ungkapnya kepada merdeka.com, Selasa (22/3).
Perubahan iklim sering dikaitkan dengan pemanasan global. Menurut Donaldi, masyarakat bisa melakukan banyak cara untuk mengurangi pemanasan global. Di antaranya, mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (fossil fuel) dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian, melakukan penanaman pohon dan menjaga hutan yang ada sebagai penyerap gas rumah kaca. Mengurangi penghematan energi dan air yang dalam pembuatannya menggunakan energi BBM.
Selanjutnya, melakukan perubahan penggunaan energi ke energi baru terbarukan (EBT) seperti solar cell dan energi angin, gelombang dan geotermal.
“Melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait dampak perubahan iklim untuk peningkatan kesadaran masyarakat,” tandasnya.
Es di Puncak Jaya Wijaya Cair
Sebelumnya, Donaldi mengungkap, awal mula es di Puncak Jaya mencair. Dia menyebut, secara umum pencairan es di dunia terjadi mulai tahun 1850, saat awal revolusi Industri.
Saat itu, luas es di Puncak Jaya diestimasi sekitar 20 Km persegi. Dalam 20 tahun terakhir atau pada 2002, luas es Puncak Jaya terus menipis menjadi 2 Km persegi. Kemudian menjadi 1,8 Km persegi pada 2005, 0, 6 Km persegi pada 2015, 0,46 Km persegi pada Maret 2018, dan 0,34 Km persegi pada Mei 2020.
“Di sisi lain, pengukuran pertama tebal es dilakukan oleh tim BMKG bekerja sama dengan The Ohio State University (USA) pada tahun 2010 dengan tebal es 32 meter. Kemudian 27 meter pada 2015, 22 meter pada 2016 (dikarenakan EL Nino Kuat) dan 8 meter
pada 2021,” jelasnya.
Menurut Donaldi, selain Puncak Jaya tidak ada gunung lain di Indonesia yang memiliki es. Namun sebelumnya pernah ada es di Mt Wilhelm, Papua Nugini dan Gunung Kinabalu, Malaysia.
Pencairan es di Puncak Jaya tentu memberikan dampak. Di antaranya, berkontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut (sea level rise) walaupun mungkin tidak signifikan karena luasan es yang tidak terlalu besar.
Dampak lainnya, secara budaya, suku lokal di Puncak Jaya kehilangan tempat sakral. Saat ini, suku lokal menganggap es Puncak Jaya merupakan tempat yang sakral.
“Dampak lainnya yang mungkin adalah terhadap kehidupan flora dan fauna disekitar es Puncak Jaya, namun hal ini masih belum dieksplorasi lebih jauh,” ucapnya.
Donaldi mengatakan dampak pencairan es ini akan dirasakan di sekitar wilayah Puncak jaya. Seperti, kemungkinan memicu kenaikan tinggi muka laut di wilayah laut.
Sumber: merdeka.com