KATOE.ID – Air merupakan kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidup manusia. Kualitas air yang baik, akan menentukan kualitas hidup manusia khususnya di bidang kesehatan.
Provinsi Jambi sendiri memiliki sumber air terbesar di sungai Batanghari. Namun, untuk kualitas airnya sendiri, terus memprihatinkan. Sebagai sungai terpanjang di Sumatera dengan panjang dari hulu ke hilir mencapai 870 KM dengan lebar 300-500 meter dan kedalaman 6-7 Meter ini kini sudah tampak keruh secara kasat mata.
Sementara itu, Wilayah kota Jambi yang memiliki 12 anak sungai saat ini juga memiliki persoalan yang sangat krusial seperti pendangkalan, pengalihan fungsi, sampah dan sebagainya.
Permasalahan air bukanlah persoalan individu, tapi persoalan bagi semua pihak, Mapala Gitasada Universitas Batanghari merangkul beberapa mahasiswa dari berbagai lembaga di kampus Unbari dan kampus-kampus yang ada di Provinsi Jambi serta beberapa Stakeholder yang terkait untuk maslah air dan sampah. Semua pendapat disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Sungai Bukan Tempat Sampah ” dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia 2022 yang dilaksanakan di Aula Abdurrahman Sayoeti Unbari, Sabtu (26/03/22).
Pantau Sumber Pencemaran Air Sungai di Kota Jambi
Menampilkan video pendek terkait kondisi anak sungai di Kota Jambi saat berlangsung diskusi publik, tampak kondisi sungai yang keruh dan sampah-sampah mengapung di permukaan sungai. Tak hany itu, di wilayah TPS juga terlihat sampah yang berserakan di luar Tong TPS.
Ketua Mapala Gitasada, Aditya Putra Pratama mengungkapkan Timnya telah melakukan pantauan langsung sumber pencemaran di anak sungai Kota Jambi. “Kami teliti secara visual di 8 titik dari 12 anak sungai Kota Jambi dari 22-24 Maret 2022,” katanya.
Adit berharap, dari temuan itu, semua elemen mulai membangun komitmen bersama untuk memperbaiki kerusakan sungai yang ada di Jambi. “Mari kita bangun komitmen bersama untuk menjaga kelestarian kebersihan air sungai serta membangun kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk menjaga sungai dan menempatkan sampah pada tempatnya, bukan buang sampah ke sungai,” sebutnya.
Merkuri di Sungai Batanghari Mengintai
Meninjau sungai Batanghari sebagai salah satu sumber air minum masyarakat di Provinsi Jambi melalui PDAM tentunya mejadi perhatian khusus untuk melihat kualitas air.
Saat ini, kualitas air sungai Batanghari memiliki indeks kualitas air di angka 48,9 poin. Namun, menurut DLH Provinsi Jambi penyebabnya hanya di limbah domestik dan residu pupuk perkebunan. Untuk kandungan merkuri, tetap ditemukan meskipun hanya kecil.
“Residu pupuk kontribusinya cukup signifikan, dengan sampah rumah tangga. Pupuk dari semua perkebunan di bantaran sungai,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Sri Argunaini, Rabu (09/03/22) yang dikutip dari jambikita.id/kumparan.com pada Minggu (27/03/22).
Begitu saat pemerintah Provinsi Jambi yang mencanangkan program sungai Batanghari Bersih pada Rabu (08/03/22) lalu, DLH Provinsi Jambi mencatat kerusakan air sungai Batanghari sejak terjadinya Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di huluan.
Di situ, DLH Provinsi Jambi menyampaikan pihaknya menguji baku mutu air sungai Batanghari dengan fokus menguji parameter Totak Suspended Solid (TSS), Faecal Coli atau Koliform Fekal dan menguji BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang merupakan parameter pencemaran dalam limbah selama tahun 2021 sebanyak dua kali di 12 titik.
Hasil dari uji tersebut sangat mengkhawatirkan, sebab hasil parameter baku mutu air sungai Batanghari di angka 47,5 poin, masuk kategori II. “Itulah indeks kualitas air kita, yang dikirim ke Kementrian LHK. Masuk kategori buruk,” kata Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Dinas LH Provinsi Jambi Asnely R Daulai.
Terkait dampak PETI yang membuat air keruh, merkuri yang di gunakan juga menjadi perhatian DLH dalam pengujian. “Parameter yang diuji memang banyak, termasuk merkuri terlarut. Tetapi merkuri bukan sumber pencemar utama,” katanya.
Saat diskusi publik yang diselenggarakan oleh Mapala Gitasada ini, Siti Umi Kalsum yang merupakan akademisi dari fakultas Teknik lingkungan mengungkapkan bahwa merkuri ada di sedimen sungai bukan di permukaan sungai.
Sebagai akademisi yang konsentrasi dengan air, Umi menilai DLH terbatas dalam merangkum semua penelitian terhadap kualitas air khususnya di sungai Batanghari. “Saya lihat DLH memiliki data-data. Tapi data-data tersebut tidak konsisten dengan permasalahan dikarenakan keterbatasan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam pengujian sampel tercemarnya air sungai Batanghari seharusnya memiliki banyak kategori, namun saat ini DLH masih terbatas karena hanya memiliki 3 kategori sampel.
“Alat uji harus di Update kerana merkuri tidak bisa diditeksi di permukaan air. Merkuri berada di sedimen sungai, maka perlu alat uji untuk sedimen sungai,” kata dosen perempuan yang tengah menggarap disertasinya untuk gelar Doktor ini.
Terkait bahaya merkuri, ia berpendapat bahwa merkuri tidak langsung ke manusia. Tapi, merkuri tersebut dimakan oleh biota air dan biota air tersebut menjadi makan manusia.
Untuk diketahui, merkuri merupakan salahbsatu logam berat yang beracun dan berbahaya bagi lingkungan. Gejala keracunan merkuri ini berbagai jenis, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala yang timbul dapat menyerang sistem saraf, ginjal, jantung, paru-paru dan sistem kekebalan tubuh.
Bahayanya merkuri ini, Dirjen pengolaan sampah , limbah, bahan beracun dan berbahaya (PSLB3) KLHK menyampaikan akan menyudahi penggunaan merkuri di Indonesia. Hal ini ia samapaikan pada sidang The Fourth Meeting of the Cinference of Parties (COP-4) pada konvesi Minamata.
Banjir Mengancam
Dadan salah satu perwakilan DLH Kota Jambi mengatakan, sampah menjadi salah satu penyebab yang berperan dalam mengakibatkan banjir di kota Jambi selain dari curah hujan.
“Ketika hujan di kota Jambi melampaui 100 mm dan per hari hujan deras lebih kurang lebih 3 jam, kemungkinan besar terjadi genangan yang mengakibatkan banjir,” katanya.
Di kota Jambi, ada beberapa titik pemukiman warga yang menjdi langgana banjir ketika hujan lebat.
Dadan pun berpendapat, penyebab banjir selanjutnya adalah alih fungsi lahan yang sebelumnya secara alami daerah parkir genangan air. “Sekarang menjadi perumahan,” ujarnya.
Ia menilai, kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah yang benar menjadi faktor penting untuk mencegah banjir di Kota Jambi. “Saat ini masyarakat di hulu buang sampah di sungai, kita di hilir yang banjir,” tegasnya.
Melihat persoalan sampah, sangat berpengaruh dengan kondisi sungai di Kota Jambi. Banyak faktor yang membuat kondisi ini sehingga mengakibatkan bencana banjir.
Direktur Perkumpulan Hijau (PH) Jambi, Feri Irawan mengatakan, kota Jambi untuk 10 tahun kedepannya akan terancam banjir dan penumpukan sampah.
Menurutnya, anak sungai di kota Jambi ini saat ini fungsinya sudah berubah. Karena banyak pembangunan yang ada di bantaran sungai sehingga fungsi sungai tidak lagi berfungsi sebagaimana semestinya. “Sehingga saat hujan lebat sungai tidak mampu lagi untuk menampung dan mengaliri air. Bahkan, drainase yang dibuat oleh pemerintah pun tidak berfungsi dengan baik,” ujarnya.
Selanjutnya adalah permasalahan sampah. Banyaknya sampah di sungai menandakan bahwa pemerintah belum mampu menyediakan TPS untuk masyarakat. “Yang pertama langkah pemerintah harusnya menyediakan fasilitas seperti membuat TPS dengan pembedaan jenis sampah seperti sampah basah dan sampah kering. Begitu juga dengan kendaraan yang mengangkut sampah harus dibedakan. Karena sampah memiliki nilai ekonomis,” jelasnya.
Selanjutnya membangun kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai karena sampah yang menumpuk di hilir akan mengakibatkan sumbatan aliran dan mengacam terjadinya banjir.
Feri berharap, semua unsur berani untuk melakukan perubahan. Seperti mahasiswa, ia meminta rektor untuk membuat KNN di wilayah kota dengan fokus penanggulangan sampah. Sedangkan untuk DPRD kota Jambi, ia berharap para Dewan untuk mebuat perencanaan rill untuk TPS.
Pandangan Anggota DPRD Kota Jambi
Anggota DPRD Kota Jambi, Joni Ismed mengatakan untuk menyelamatkan sungai Batanghari dan anak-anak sungai di Jambi khususnya Kota Jambi, Negara harus berani. Begitu juga dengan rakyat yang harus memiliki keberanian yang tinggi untuk melawan kelompok-kelompok yang menghancurkan semua sungai di Jambi.
“Untuk apa kalau pemerintah tidak berani untuk menyelamatkan sungai Batanghari dan tidak berani melawan kelompok-kelompok tertentu. Percuma saja, itu hanya menghabiskan biaya dan anggaran yang sangat besar. Berani atau tidak negara menutup PETI yang ada?,” tegas Joni.
Dampak terhadap pencemaran air sungai Batanghari saat ini, menurut Joni adalah di PDAM. Sebagaimana yang dilaporkan oleh pihak PDAM Tirta Mayang Kota Jambi saat diskusi publik ini, biaya produksi pengelolaan air semakin meningkat. Bahkan, dua tahun kedepannya, tarif PDAM berkemungkinan untuk naik lagi dikarenakan dampak air yang tercemar mengharuskan anggaran produksi meningkat dengan anggaran terbatas.
“Dampaknya hari ini, PDAM harus meningkatkan anggaran untuk membersihkan air untuk kebutuhan air minum bagi rakyat Kota Jambi,” ujar Joni.
Joni menyampaikan, untuk mencapai penyelamatan sungai Batanghari ini perlu dibuat satuan tugas khusus dari berbagai elemen, mulai dari pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan mahasiswa khususnya pecinta alam.
“Kekuatan terbesar kita adalah membuat tim terpadu yang terintegrasi. Tidak bisa kita selesaikan dengan kekuatan rakyat yang ada di sini. Ini harus ada kekuatan dari pusat, harus ada kebijakan dari presiden ataupun DPR yang ada di Jakarta yang berasal dari Jambi. Jangan terpecah-pecah, kita harus bersatu. Kita memang tidak lahir di Jambi, tapi mati kita di Jambi nantinya,” tegasnya.
Ia berharap, bagi para pecinta alam jangan membuat kegiatan yang hanya seremonial saja dan sekedar mendaki gunung. “Kita tidak butuh itu lagi, yang kita butuhkan adalah pemikiran bagaimana Sungai Batanghari bersih menjadi peradaban dunia,” ujarnya.
Joni menilai, saat ini ditengah masyarakat telah terjadi degradasi pemikiran sehingga sungai menjadi tempat membuang sampah. Padahal, katanya dahulu masyarakat Jambi membuat pemukiman di pinggiran sungai Batanghari dan selalu menjaga kearifan lokal dan tidak membuang sampah ke sungai.
Seperti terlihat di Kota Jambi, saat ini ia menilai banyak fungsi sungai sudah teralihkan akibat pembangunan. Banyak sungai-sungai yang diperkecilkan. “BPN mengeluarkan sertifikat, kan padahal kalau menurut undang-undang harus berjarak 10 meter dari pinggir sungai tapi kenyataannya apa. Banyak bangunan diatas sungai,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus RS Royal Prima yang mendirikan bangunan di atas drainase. “Kami telah mendatangi. Kami telah memberi waktu 3 bulan untuk membenahi. Jika 3 bulan tidak dilaksanakan maka kami akan meminta pemerintah kota untuk menutup secara permanen dan membongkar bangunannya dab jangan ada apa-apa di sana,” sebut Joni.
Masalah banjir pun menjadi sorotan Joni. Ia mengungkapkan bahwa dana yang dibutuhkan untuk normalisasi dan revitalisasi sungai tersebut mebutuhkan dana Rp100 Miliar. “Pedestrian bisa kita bangun Rp25 Miliar. Pembangunan Rumah Sakit bisa kita bangun dengan anggaran Rp40 Miliar duit dari pinjaman. Itu bisa, kenapa sungai tidak bisa?,” katanya.
Normalisasi dan vitalisasi sungai tersebut, Joni menegaskan untuk meminimalisir terjadinya banjir. “Harus seperti itu, negara harus tegas kalau perlu sedikit keras,” pungkasnya. (Alpin.R)