KATOE.ID – Onaria Fransisca dan Yanni Krishnayanni, merupakan 2 wartawan perempuan yang tergabung sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mendaki gunung tertinggi di kepulauan Maluku.
Mereka memulai perjalanan pendakian Gunung Binaiya yang berada di kawasan Taman Nasional Manusela di Pulau Seram pada Minggu (17/04/22) sekitar pukul 13.00 WITA.
“Pendakian kami mulai dari rumah Bapa Raja Negeri Piliana Kabupaten Tehoru, Kecamatan Maluku Tengah, dengan ketinggian 447 di atas permukaan laut. Kami dibantu 3 orang porter warga Negeri Piliana,” ujar Yanni seperti yang dilansir dari jambipos.com, Kamis (28/04/22).
Gunung Binaiya puncak tertingginya tercatat 3.027 Mdpl dan masuk pada urutan keenam dari 7 puncak gunung tertinggi di Indonesia, tapi butuh minimal 5 hari mencapai puncaknya.
Kepada Yanny, Bapa Raja Piliana menjelaskan, Gunung Binaiya memiliki 9 puncak yang harus dilalui.
“Mirip dengan Gunung Bukit Raya di Kalimantan Barat, yang telah kami kunjungi pada awal Desember tahun lalu,” imbuh Onaria.
Baik Binaiya maupun Bukit Raya adalah gunung-gunung dengan urutan terakhir dari sevens summit Indonesia, namun membutuhkan waktu lebih lama untuk ditaklukkan, dibanding gunung dari lainnya, kecuali Cartenz.
Menurut Yanni, ketinggian sebuah gunung tidak bisa menjadi ukuran kecepatan untuk mencapai puncaknya. Harus diperhatikan berapa ketinggian awal pendakian dan jalur yang harus dilalui. Seperti Bukit Raya dengan ketinggian 2.278 mdpl, start dari desa Rantau Malam pada titik 65 mdpl, begitu juga dengan Binaya 3.027 mdpl, start dari desa Piliana pada titik sekitar 447 mdpl, kedua gunung itu membutuhkan 5 hari pendakian, maka jangan pernah menganggap remeh yang tercatat atau terlihat rendah.
Menurut penuturan Onaria, jalur Gunung Binaiya benar-benar menguras tenaga maupun mental untuk satu puncak naik hingga yang tertinggi dan harus turun ke dasar lembahnya lebih dulu, baru lanjut puncak yang lain.
Kesembilam puncak Gunung Binaiya itu adalah, Pulehata, Aimoto, Teleuna, Manukupa, Isilali, Bintang, Nasapeha, Saliawele dan Binaiya.
Sedangkan pos-pos yang harus dilalui para pendaki yakni, Yamhitala (shelter dan sungai), Aimoto (shelter dan sungai), High camp (shelter), Isilali (shelter, tampungan air), Nasapeha (tampungan air) dan Waifuku (tampungan air).
Gunung ini memiliki jalur yang beragam, mulai dari ladang penduduk, hutan tropis berbatu putih, hutan lumut dan setelah pos 4, akan banyak ditemukan bebatuan hitam tajam mirip dengan batu karang.
“Yang membuat putus asa adalah saat sudah dekat dengan puncak, pepohonan sudah tidak ada, bebatuan besar menjulang tinggi, juga beberapa tebing yang harus kami susuri. Kami terkecoh dengan puncak tinggi di depan mata, setelah sudah dekat, ternyata bukan itu puncak tertingginya, dan hampir saja membuat kami putus asa,” tutur Yanni Krishnayanni.
“Hutan-hutannya memang masih sangat asri, banyak burung beraneka warna sempat kami lihat, ada yang merah, ada yang kuning dan dengan beberapa suara berlainan, yang sempat menghibur adalah 2 hutan lumut yang ada di Gunung Binaiya ini, teduh, asri, bersih dan seperti rumah para liliput,” imbuh Onaria Fransisca.
Menurut Yanni, jika mengunjungi gunung ini, harus super hati-hati dalam melangkah, karena banyak jalur batu tajam yang harus dilalui. Begitu tersandung, akan bahaya.
“Pada tanggal 22 April 2022, sampailah kami di Negeri Piliana pada pukul 12.27 WITA. Puji Tuhan, pendakian berjalan lancar dan semua turun dengan selamat dan sehat,” ujar Onaria Fransisca.
“Binaiya, sesuai dengan yang dijelaskan oleh Bapa Raja Piliana saat kami sudah turun bahwa Binaiya artinya batin dibina, fisik dianiaya. Dan itu benar adanya, selain kaki, nafas harus kuat, batin kita juga diuji dengan kesabaran, ketabahan dan kegigihan naik turun 9 puncak agar bisa sampai pada tujuan,” tandasnya. (**)