KATOE.ID – Gubernur Jambi, Al Haris pada apel Siaga Darurat Karhutla Provinsi Jambi di Makorem 042/Garuda Putih, Jumat (10/6) lalu menetapkan Jambi Siaga Karhutla.
Penetapan status ini berdasarkan bahwa pada tahun 2022 ada 759 titik panas dan 62 hektare lebih lahan terbakar di Jambi selama 2022. Tak hanya itu, Jambi pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan terburuk, yakni pada 2015 dan 2019.
Anti Illegal Loging Institute (AiLinst), LSM peduli lingkungan di Jambi, mencatat bahwa pada 2015 seluas 191.378 ha lahan hutan terbakar dan pada 2019 seluas 157.137 ha. Kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di lahan gambut.
Dari pemantauan ditemukan, luas lahan gambut yang terbakar pada 2015 mencapai 90.363 ha atau sekitar 44 persen dari total luas kebakaran lahan dan hutan kala itu. Angka tersebut naik signifikan pada 2019 menjadi 101.418 ha atau sekitar 64 persen.
“Dua pemegang izin konsesi HTI menjadi penyumbang angka kebakaran hutan gambut. Pada 2015 kebakaran lahan gambut terluas dalam HTI PT Dyera Hutani Lestari dan PT Wira Karya Sakti,” ungkap Direktur Ailints Diki Kurniawan dalam keterangan keterangan tertulisnya, Jumat (24/06/22) yang dilansir dari metrojambi.com, Sabtu (25/06/22).
Ailints mencatat, pada 2015 kebakaran hutan gambut di konsesi HTI seluas 51.223 hektar. Pada 2019 seluas 21.226 hektar. “Atas kejadian tersebut, izin PT Dyera Hutani Lestari dicabut pada 2015. Namun, baik PT WKS maupun eks PT Dyera Hutani Lestari (DHL) pada 2019 mengalami kebakaran berulang,” ungkap Diki Kurniawan.
Kebakaran berulang 2015 dan 2019 di areal PT WKS terjadi di kawasan ekosistem gambut Distrik VII, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Pasca kebakaran, baik PT WKS maupun PT DHL dibebankan untuk melakukan pemulihan kawasan. Karena izin PT DHL dicabut, tanggung jawab restorasi gambut dibebankan ke pemerintah.
Sedangkan PT WKS, berdasarkan temuan Ailints dan JMGS (Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera), tidak benar-benar melakukan pemulihan restorasi lahan gambut pasca kebakaran berulang.
Diketahui, dari 59 titik sekat kanal yang dibangun oleh PT WKS, empat di antaranya rusak parah. “PT WKS justru terindikasi melakukan pembukaan dan pelebaran kanal serta melakukan upaya revegetasi yang tidak sesuai ketentuan,” tambah Diki.
Berdasarkan Peta Indikatif Fungsi Ekosistem Gambut Nasional 2017, sebagian besar Distrik VII PT WKS merupakan kawasan ekosistem gambut dengan status fungsi lindung. “PP Nomor 57 Tahun 2016 melarang pembangunan dan pelebaran kanal, kecuali dikarenakan keterlanjuran,” terang Diki.
Selain menyalahi PP No 57 Tahun 2016 jo PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, PT WKS juga disebut menyalahi P.16/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.(*)