Oleh: Rayi Retriananda Maulana (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung)
SESUATU yang terjadi tiba-tiba dan berkali-kali itu kadang tidak menyenangkan. Tidak ada tanda-tanda apa pun, sehingga kita yang mengalami juga tidak bisa mempersiapkan apapun. Pilihannya hanya satu, menerima keadaan. Mau protes juga susah, lha wong sudah terjadi, mau bagaimana lagi.
Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, beberapa harga kebutuhan pokok naik sangat tinggi, namun dalam tulisan kali ini saya akan mengulas salah satunya, yakni kenaikan harga Pertamax.
Saat ini Indonesia tengah sibuk digoyang isu minyak. Minggu-minggu sebelumnya masyarakat heboh berebut minyak sayur yang langka. Setelah stock minyak sayur tercukupi, harganya melonjak tidak tanggung-tanggung sampai dua kali lipat. Belum usai rakyat dibuat sesak dengan kenaikan harga minyak sayur, kini dibuat panik oleh minyak lain. Bukan minyak kemiri, minyak rambut atau minyak bulus, tapi bahan bakar minyak (BBM) berjenis Pertamax.
BBM non-subsidi ini tengah hangat diperbincangkan. Bukan lagi karena kwalitasnya yang unggul, atau karena di-endorse influencer. Namun karena naiknya harga Pertamax yang mencapai 15% lebih tinggi dari biasanya.
Tingginya harga Pertamax ini menimbulkan kecemasan. Disadari atau tidak BBM adalah bagian terpenting dari mobilitas manusia. Ketika BBM naik tentu akan berpengaruh langsung pada masyarakat. Seperti yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM akan membuat harga kebutuhan lain ikut naik.
Pertamax kerap dikaitkan dengan penyebab kerugian. Harga pertamax selama ini dipandang tidak sesuai dengan biaya produksi yang keluar. Pertamina kerap dibilang “nombok” demi menjaga harga BBM dengan nilai oktan 92 ini. Maka demi mencegah kerugian semakin berlanjut, harga Pertamax disepakati naik sampai Rp. 12.750.
Ada statement yang menarik sekaligus menohok. Direktur utama Pertamina Nicke Widyawati memandang Pertamax adalah produk konsumsi masyarakat kelas atas. “Even Pertamax digunakan untuk mobil bagus, jadi sudah sewajarnya dinaikkan karena ini bukan masyarakat miskin,” kata Nicke.
Tentu ujaran ini tidak relevan. Karena penggunaan Pertamax bukanlah simbol ‘kekayaan seseorang’. Perlu diperhatikan pihak yang paling terdampak kenaikan harga BBM non-subsidi ini. Yaitu para pedagang bensin eceran. Ada dua pelaku bisnis bensin eceran ini. Pertama adalah Pertashop yang merupakan waralaba dari Pertamina. Kedua adalah pedagang bensin eceran yang tidak termasuk mitra perusahaan migas ini. Keduanya tentu menjadi pihak pertama yang terdampak oleh kenaikan Pertamax.
Konsep Pertashop bisa dibilang sanagat baru. Namun, kehadirannya dipastikan dapat membantu masyarakat yang jauh dari SPBU. Kehadiran “pom bensin kecil-kecilan” ini juga ikut memasyarakatkan Pertamax. Percepatan rakyat untuk menjadi konsumen BBM non-subsidi ini sangat terbantu oleh kehadiran Pertashop.
Yang kedua adalah pedagang bensin eceran di pinggir jalan dan Pertamini. Dalam Perpres 191 tahun 2014, pembelian Pertalite dengan jerigen tanpa rekomendasi menjadi terlarang. Ini ditambah dengan pengurangan jumlah SPBU yang mengizinkan pembelian Pertalite dengan jeriken. Maka wajar jika hari ini lebih banyak pedagang Pertamax eceran daripada Pertalite.
Dari dua model distribusi ini, jelas bahwa banyak masyarakat Indonesia menjadi konsumen Pertamax. Bensin non-subsidi ini tidak lagi jadi barang konsumsi masyarakat ekonomi menengah ke atas saja. Tentu argumen Dirut Pertamina tadi bisa dipatahkan. Tapi, harusnya sebagai dirut kan bliau sudah paham bagaimana jalur distribusi dagangannya. Jika harga Pertamax naik secara signifikan, kedua bisnis tadi pasti kena dampak pertama. Rakyat akan memilih antre demi mendapat Pertalite yang lebih murah. Bahkan masyarakat ekonomi menengah juga akan pikir-pikir untuk beli Pertamax, dan memilih kendaraannya dipaksa mengunyah bensin subsidi.
Perkara Pertamina harus nombok tadi, harus dilihat sudut pandang lain. Jika benar harga Pertamax sebenarnya menyentuh angka 12.750 ribu, apakah harus dinaikkan secara mendadak? Harga Pertamax 12750 ribu itu bukan hal yang sepele lho. Jika memang ada nombok karena salah hitung, negara perlu bertanggung jawab menjaga kenaikan harga. Satu alasan, agar situasi ekonomi masyarakat tidak terpukul saat tengah berjuang bangkit dari pandemi.
Tapi, entah apa yang jadi pertimbangan DPR sehingga mengeluarkan statement yang mengerikan ini. Yang jelas, polemik telah bertumbuh. Dua geger karena minyak akan menjadi warna tersendiri di 2022. Warna yang lebih suram dari dua tahun sebelumnya. Dan rakyat, sekali lagi, akan jadi kelompok paling terdampak. (***)