KATOE.ID– Kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi kembali menjadi sorotan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai aturan ini berpotensi mengganggu pasokan BBM, mengurangi pilihan konsumen, serta memperkuat dominasi Pertamina di pasar.
Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membatasi kenaikan impor bensin non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan tahun sebelumnya. Aturan ini disebut berdampak langsung pada badan usaha (BU) swasta yang bergantung pada impor BBM non-subsidi.
Dampak Pembatasan Impor BBM Non-Subsidi
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, mengungkapkan bahwa pembatasan impor menyebabkan pasokan BBM non-subsidi semakin terbatas. Akibatnya, konsumen kehilangan alternatif pilihan produk dan aktivitas ekonomi masyarakat maupun pelaku usaha bisa terhambat.
“Keterbatasan pasokan berdampak pada berkurangnya pilihan konsumen di pasar dan memengaruhi kelancaran aktivitas ekonomi. Kondisi ini juga memperkuat dominasi Pertamina,” jelas Deswin.
Data KPPU menunjukkan, tambahan volume impor untuk BU swasta hanya berada pada kisaran 7.000–44.000 kiloliter, sedangkan PT Pertamina Patra Niaga mendapatkan tambahan sekitar 613.000 kiloliter. Saat ini, pangsa pasar Pertamina di segmen BBM non-subsidi mencapai sekitar 92,5 persen, sementara BU swasta hanya 1–3 persen.
Risiko terhadap Persaingan Usaha dan Investasi
KPPU menilai kebijakan ini bisa menimbulkan risiko monopoli dan diskriminasi harga, karena BU swasta bahkan diarahkan membeli pasokan dari kompetitor. Hal ini menimbulkan potensi market foreclosure (pembatasan pasar) sekaligus inefisiensi pemanfaatan infrastruktur swasta.
Lebih jauh, kondisi ini juga dinilai mengirim sinyal negatif bagi investasi baru di sektor hilir migas, padahal tren konsumsi BBM non-subsidi di Indonesia menunjukkan perkembangan positif.
Evaluasi dan Rekomendasi KPPU
KPPU menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap kebijakan impor BBM non-subsidi. Menurut Deswin, pemerintah perlu menyeimbangkan tiga hal utama:
- Stabilitas energi nasional.
- Efisiensi pasar dan distribusi BBM.
- Keberlanjutan iklim investasi yang sehat.
Kebijakan publik harus mampu menjaga keseimbangan agar manfaat dari pertumbuhan konsumsi BBM non-subsidi dapat dirasakan secara berkelanjutan oleh masyarakat,” tegasnya.
Dari perspektif persaingan usaha, pembatasan impor BBM non-subsidi perlu terus dipantau agar tidak menghambat iklim usaha sehat. KPPU mendorong pemerintah untuk membuka ruang yang lebih luas bagi BU swasta, sehingga konsumen tetap mendapatkan pilihan produk, harga yang kompetitif, dan pasokan yang terjamin.
Dengan kebijakan yang seimbang, tujuan menjaga ketahanan energi sekaligus pertumbuhan ekonomi nasional dapat tercapai secara berkelanjutan. **
 
 












