KATOE.ID – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo merespons soal Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN) yang memutus Menkeu Sri Mulyani bersalah karena memecat secara sepihak seorang aparatur sipil negara (ASN) penyandang disabilitas berinisial DH. Terkait itu, Yustinus mengatakan jika Kementerian Keuangan menghormati putusan PTTUN-Jakarta.
“Di mana dalam putusan tersebut Hakim menyatakan bahwa pelanggaran presensi yang dilakukan Penggugat tanpa memberikan penjelasan kepada atasannya selama akumulasi 129 hari dilakukan karena dalam kondisi scizofrenia paranoid,” kata Pras sapaan akrabnya saat dihubungi Suara.com, Jumat (3/6/2022).
Menurutnya, tidak ada pemberitahuan dari pihak keluarga terkait ketidakhadiran DH selama 129 hari pada periode Januari sampai September 2020. Dia mengatakan, sanksi yang dijatuhkan kepada DH lantaran tidak adanya pemberitahuan soal ketidakhadiannya itu.
“Sampai dengan penjatuhan hukuman disiplin yang dijatuhkan pada bulan November 2020 DH dan keluarganya tidak memberitahukan kondisi sakitnya baik secara tertulis maupun lisan kepada kantor/atasan. Dengan demikian, keputusan penjatuhan hukuman disiplin didasarkan pada fakta DH tidak dalam kondisi sakit,” katanya.
Menurut dia, seandainya kondisi sakit ini diberitahukan sejak awal, tentu akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh atasan langsung kepada pegawai yang sakit diberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya konseling, pengobatan, atau cuti sakit.
“Selama ini hak-hak tersebut telah diberikan kepada pegawai yang sakit,” ucapnya.
Saat ini kata dia pihak Kemenkeu masih menunggu salinan putusan PTTUN dan akan mempelajari lebih lanjut sebagai pertimbangan untuk langkah selanjutnya.
Sebelumnya, Hakim Ketua Dr. Santer Sitorus, S.H., M.Hum memutuskan bahwa mengabulkan seluruh gugatan DH sebagai penggugat yang terdaftar dalam nomor perkara 22/G/2021/PT.TUN JKT kepada tergugat Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani.
“Dalam eksepsi, menyatakan, eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2 ditolak. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat (DH) untuk seluruhnya,” kata Hakim Sitorus di PTTUN Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (2/6/2022).
Atas putusan ini, BPASN wajib membatalkan surat keputusan banding administratif terhadap DH setelah itu Menkeu Sri Mulyani wajib membatalkan surat pemecatan kepada DH.
Kronologi Pemecatan DH
DH bekerja sebagai ASN di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan RI sejak 2010. Memasuki 2017 usai menjalani studi S2 di Australia, dia dipindahtugaskan ke staf fungsional dengan tugas yang lebih berat sehingga penyakitnya kambuh.
Selama 2018-2020, kondisi DH memburuk karena tidak ada pendampingan psikiater dan pengobatan, gejala kejar atau paranoia semakin mengganggu kinerjanya dan mengganggu interaksi dengan lingkungannya.
16 April 2020, DH mendapatkan teguran lisan dari atasannya yang mempermasalahkan absensi, padahal kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk bekerja. Teguran dari Kemenkeu terus dilayangkan hingga September 2020.
Hingga akhirnya, 12 November 2020, Kemenkeu menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian kerja terhadap DH karena dianggap melanggar absensi.
September 2021, kondisi DH membaik usai mendapatkan perawatan selama tiga bulan oleh psikiater karena didiagnosis menderita Skizofrenia Paranoid, ia kembali ke Kemenkeu, namun ia justru diminta mengajukan banding administratif ke Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN).
Tak hanya itu, DH juga diminta mengembalikan uang ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas saat ia menerima beasiswa dari Pemerintah Australia.
Merasa diperlakukan tidak adil, DH menggugat Kementrian Keuangan dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2021 tentang Upaya Administratif dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara.
Sumber: suara.com